Tarunaglobalnews.com Medan, — Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (UNIMED) menyelenggarakan Kuliah Tamu Teori Kebudayaan bertema “Budaya, Kepercayaan, dan Identitas Parmalim: Menelusuri Akar Kultural Masyarakat Batak Toba.”
Acara ini menghadirkan Monang Naipospos, budayawan dan pemerhati kepercayaan Parmalim, sebagai narasumber utama, dengan pengampu mata kuliah Dr. Hidayat, M.Si dan Sry Lestari Samosir, M.Sos.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari mata kuliah teori kebudayaan dan program Klinik Kebhinekaan, yang diinisiasi oleh Sry Lestari Samosir, M.Sos sebagai tindak lanjut dari Fellowship Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) yang diselenggarakan oleh CRCS UGM (Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada).
Dalam kuliah ini, Monang Naipospos menjelaskan bahwa Parmalim bukan sekadar agama lokal, tetapi sistem nilai dan spiritualitas masyarakat Batak Toba yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Ia menegaskan bahwa istilah “Parmalim” berasal dari kata “malim,” yang bermakna suci atau kesucian. Dengan demikian, Parmalim mengacu pada orang-orang yang menjalani kehidupan dalam kesucian moral dan spiritual, serta berpegang pada ajaran Debata Mulajadi Nabolon sebagai Sang Pencipta.
“Parmalim mengajarkan manusia untuk hidup dalam kebenaran dan menjaga keseimbangan antara roh, tubuh, dan alam,” ujar Monang Naipospos (20/10/2025) Medan.
Sementara itu, Dr. Hidayat, M.Si menyoroti bahwa ajaran Parmalim memiliki pandangan ekologis yang kuat, di mana hubungan manusia dengan alam dipandang sebagai bagian dari ibadah dan spiritualitas.
“Ajaran Parmalim menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan spiritual manusia,” ungkapnya.
Dalam pemaparannya, Monang juga menceritakan perjalanan panjang umat Parmalim dalam memperjuangkan hak-hak berkeyakinan di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, umat Parmalim menghadapi diskriminasi sosial, salah paham, dan tekanan hukum karena keyakinan mereka belum diakui secara resmi. Namun, mereka tetap memilih jalan damai, tanpa kekerasan, dan memperjuangkan pengakuan melalui jalur hukum.
Puncak perjuangan itu terjadi pada 2017, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa kolom agama pada KTP bagi umat Parmalim dan penganut kepercayaan lainnya dapat diisi dengan keterangan “Penghayat Kepercayaan.”
Keputusan ini menjadi tonggak bersejarah bagi kebebasan berkeyakinan di Indonesia.
“Kami diam mendengar ada yang berkata buruk tentang Parmalim, tetapi kami berjuang hingga akhirnya tahun 2017 keluar putusan MK agar kami diakui sebagai penghayat kepercayaan,” tutur Monang Naipospos.
Ia kemudian menutup kisah perjuangan itu dengan perumpamaan simbolik :
“Perjuangan ini diibaratkan seperti buah duku yang dipencet, bijinya keluar dan jatuh lalu tumbuh dan berkembang” tambahnya.
Kiasan tersebut menggambarkan penderitaan yang akhirnya melahirkan kekuatan baru bagi eksistensi Parmalim di tengah masyarakat modern.
Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesucian, keseimbangan, dan penghormatan terhadap sesama serta alam menjadi inti ajaran Parmalim. Prinsip ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam pendidikan, profesi, maupun relasi sosial.
Mahasiswa diharapkan mampu meneladani nilai tersebut dengan bersikap jujur, menghargai perbedaan keyakinan, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Kuliah ini juga menjadi ruang reflektif bagi mahasiswa untuk memahami bahwa modernisasi dan globalisasi tidak boleh menyingkirkan kearifan lokal.
Sebaliknya, tradisi seperti Parmalim mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menyeimbangkan kehidupan material dan spiritual.
Makna Akademik dan Pesan Kebhinekaan
Kuliah tamu ini menjadi bagian penting dalam pembelajaran Teori Kebudayaan di Jurusan Pendidikan Sejarah UNIMED, yang tidak hanya membahas konsep-konsep akademik, tetapi juga mengajak mahasiswa menelusuri nilai-nilai budaya lokal Nusantara.
Melalui program Klinik Kebhinekaan, kegiatan ini menegaskan komitmen Jurusan Pendidikan Sejarah UNIMED dalam mendorong dialog lintas iman dan memperkuat pendidikan multikultural di lingkungan kampus.
Sry Lestari Samosir, M.Sos, selaku inisiator program, menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah bentuk nyata integrasi antara teori dan praktik sosial dalam memahami keberagaman di Indonesia.
Menurutnya, menghargai kepercayaan lokal seperti Parmalim merupakan bagian dari membangun karakter mahasiswa yang inklusif dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan ini pun diakhiri dengan pesan reflektif: bahwa kemajuan tidak berarti meninggalkan akar budaya, melainkan menumbuhkan identitas yang berpijak pada kebijaksanaan lokal. (FS)
0 Komentar