Breaking News

6/recent/ticker-posts

Keabadian Imajinasi dan Jejak Budaya Populer : Pengaruh Karya Kho Ping Hoo dalam Sastra Populer Indonesia

Oleh: Ical

Dalam lanskap sastra Indonesia, nama Kho Ping Hoo merupakan entitas yang unik sekaligus fenomenal. Ia bukan sastrawan yang sering dibahas dalam ruang akademik atau dianalisis dalam kurikulum pendidikan formal. Namun, di ruang-ruang yang lebih luas dan hidup seperti lapak buku bekas, taman bacaan, warung kopi, ruang tunggu bengkel, hingga bilik tidur para remaja era 60 hingga 90-an nama Kho Ping Hoo adalah legenda yang menjelma sebagai bagian dari identitas budaya baca masyarakat Indonesia.

Karya-karyanya yang mayoritas bergenre cerita silat (cersil) baik berlatar Tiongkok klasik maupun tanah Jawa masa lampau telah menancap kuat dalam kesadaran kolektif generasi pembaca Indonesia. Meski selama hidupnya ia tidak pernah diangkat sebagai sastrawan besar oleh lembaga sastra resmi, pengaruhnya dalam sastra populer Indonesia sangatlah mendalam dan tak tergantikan.

Fenomena Literasi Populer

Kho Ping Hoo, dengan nama asli Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada tahun 1926 dan wafat pada 1994. Ia mulai menulis cerita silat pada awal 1950-an dan terus menulis dengan produktivitas luar biasa hingga akhir hayatnya. Diperkirakan lebih dari 400 judul cerita silat telah ia hasilkan, menjadikannya salah satu penulis paling produktif dalam sejarah Indonesia modern.

Karya-karyanya tersebar melalui penerbit-penerbit kecil dan distribusi non formal. Di masa sebelum era digital, buku-buku Kho Ping Hoo disewa di taman bacaan dengan harga murah. Anak-anak, remaja, buruh, sopir, mahasiswa, hingga pegawai negeri, menjadi pembacanya. Ini membuktikan bahwa karya Kho Ping Hoo bukan hanya diterima oleh satu segmen masyarakat, tetapi oleh lintas usia dan kelas sosial. Ia adalah simbol dari demokratisasi literasi, jauh sebelum istilah itu menjadi populer.

Gaya Bahasa dan Imajinasi Tanpa Batas

Yang menarik dari karya-karya Kho Ping Hoo adalah perpaduan antara alur cerita yang seru, karakter-karakter yang karismatik, dan latar budaya yang kaya. Meskipun ia menulis tentang dunia silat Tiongkok kuno, Kho Ping Hoo tidak pernah membaca teks asli berbahasa Mandarin. Ia menyerap informasi dari buku-buku sejarah berbahasa Belanda dan Inggris, lalu menciptakan dunianya sendiri dengan penuh imajinasi.

Ia menulis tentang gunung Thai-San, sungai Huang Ho, dan jurus-jurus ilmu silat yang rumit dan berfilosofi tinggi semuanya lahir dari daya cipta dan riset autodidak, bukan pengalaman langsung. Dalam hal ini, ia sejajar dengan penulis seperti Karl May dari Jerman, yang mampu menggambarkan Amerika Serikat dan petualangan suku Indian meski belum pernah ke sana.

Kekuatan imajinasi ini tidak hanya menciptakan dunia fiktif yang menarik, tetapi juga membentuk persepsi budaya populer tentang nilai-nilai seperti kehormatan, balas budi, cinta sejati, dan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan.

Filsafat dalam Cerita Silat

Meskipun dikenal sebagai penulis cerita laga, Kho Ping Hoo bukan hanya bercerita soal perkelahian. Ia menyelipkan banyak ajaran moral dan filsafat hidup, baik yang bersumber dari ajaran Konfusianisme, Buddhisme, hingga kepercayaan lokal dan spiritualitas modern seperti Subud. Karakter-karakter pendekarnya sering merenungi arti baik dan buruk, hakikat hidup, dan perjuangan melawan ego.

Petikan kalimat seperti:

 "Baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia, dan penilaian manusia itu palsu adanya."

Menunjukkan bahwa cerita-ceritanya bukan sekadar hiburan, tapi juga pengantar kontemplasi bagi pembacanya.

Hal ini menjadikan karya Kho Ping Hoo sebagai jembatan antara sastra populer dan kebijaksanaan hidup, menjangkau pembaca yang selama ini mungkin tidak akrab dengan buku-buku filsafat atau wacana akademik.

Antara Sastra ‘Tinggi’ dan Populer

Dalam banyak kajian sastra Indonesia, karya Kho Ping Hoo nyaris tak pernah mendapat tempat. Ia dianggap bukan bagian dari “sastra tinggi” karena gaya penulisannya yang lugas, pop, dan "tidak sesuai pakem akademik". Namun justru di situlah letak keistimewaannya. Sastra populer, sebagaimana dinyatakan oleh banyak pakar budaya, adalah refleksi dari kebutuhan batin masyarakat luas, bukan hanya segelintir elit intelektual.

Kho Ping Hoo menjadikan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan dan membangkitkan imajinasi, bukan sesuatu yang membebani. Ia menulis dengan gaya tutur lisan, penuh dialog, adegan aksi, humor, dan kisah cinta yang menggugah. Bagi banyak pembaca, buku-bukunya menjadi jendela dunia dan nilai-nilai hidup, bahkan sebelum mereka mengenal karya-karya Balzac, Dostoyevsky, atau Pramoedya Ananta Toer.

Pengaruh Jangka Panjang

Meski telah tiada sejak 1994, karya Kho Ping Hoo tetap hidup. Di era digital ini, banyak karyanya diunggah ulang dalam bentuk e-book, PDF gratis, atau dibaca di berbagai situs cerita silat daring. Bahkan sebagian cerita-ceritanya telah diadaptasi dalam bentuk komik, serial televisi, hingga sinetron.

Banyak penulis muda Indonesia yang mengaku terinspirasi oleh gaya bertutur dan kekuatan naratif Kho Ping Hoo. Tak hanya itu, budaya fan fiction, penulisan cerita bersambung di forum online seperti Wattpad atau Kaskus, sebagian memiliki akar kultural dari pengalaman membaca Kho Ping Hoo di masa muda.

Warisan Tak Tertulis

Kho Ping Hoo adalah contoh nyata bagaimana sastra bisa hidup di luar panggung formal. Ia bukan penerima hadiah sastra, bukan pula bahan ajar utama dalam pendidikan sastra Indonesia. Namun di hati jutaan pembacanya, ia adalah pencerita sejati, guru kehidupan, dan penyemai imajinasi.

Sastrawan sejati tidak selalu hidup dalam buku teks atau ruang seminar. Kadang, mereka hidup dalam halaman-halaman lusuh buku sewaan, dalam cerita yang dibacakan ayah kepada anaknya sebelum tidur, atau dalam ingatan kolektif tentang pahlawan-pahlawan yang bermartabat dan mencintai keadilan.

Kho Ping Hoo telah membuktikan bahwa sastra tidak harus elit untuk menjadi abadi. (**)

Posting Komentar

0 Komentar