Tarunaglobalnews.com Medan – Gagasan Kementerian Dalam Negeri untuk menghidupkan kembali Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) memunculkan perdebatan. Di satu sisi, Siskamling pernah menjadi ikon partisipasi masyarakat dalam menjaga ketertiban di era Orde Baru. Di sisi lain, konteks sosial politik saat ini berbeda: ancaman bukan hanya soal pencurian ayam atau gas LPG di kampung, tetapi juga hoaks, provokasi digital, hingga krisis tata kelola pemerintahan.
Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 300.1.4/e.1/BAK tertanggal 3 September 2025 yang mendorong pengaktifan kembali Siskamling dinilai lebih sebagai imbauan moral ketimbang kewajiban hukum.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar solusi, atau sekadar mengalihkan sorotan dari kegagalan negara dalam mendeteksi potensi gejolak sosial?
Kritik Tajam Sutrisno Pangaribuan
Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) dan Direktur Eksekutif Indonesia Government Watch (IG-Watch), menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa serta-merta melempar tanggung jawab kepada daerah atau masyarakat.
"Kemendagri dan Polri memiliki perangkat intelijen hingga ke tingkat desa, dari Kesbangpol sampai Bhabinkamtibmas. Faktanya, mereka gagal membaca gejolak sosial seperti di Pati, Jawa Tengah. Maka solusinya bukan sekadar menghidupkan ronda malam, tapi memperbaiki tata kelola dan kapasitas negara," ujar Sutrisno kepada media minggu (14/9) Medan.
Ia menilai gagasan aktivasi Siskamling harus ditempatkan secara proporsional. Aksi-aksi massa yang bermula dari Pati dan meluas ke berbagai daerah, kata Sutrisno, tidak ada hubungannya dengan Siskamling, melainkan akibat buruknya tata kelola pemerintah.
Antara Relevansi dan Nostalgia
Meski penuh kritik, Sutrisno tidak menolak sepenuhnya gagasan Siskamling. Menurutnya, ide ini masih bisa relevan bila memenuhi sejumlah prasyarat. Pertama, perlu dasar hukum yang kuat bukan sekadar SE Mendagri, melainkan Perppu atau regulasi yang lebih tinggi. Kedua, dibutuhkan lembaga khusus yang mengelola Siskamling, setara kementerian, agar tidak tumpang tindih dengan Kemendagri maupun Polri.
Selain itu, Sutrisno mengingatkan bahwa semua aparatur negara, baik ASN maupun anggota Polri, bisa dimobilisasi terlebih dahulu sebelum bicara soal rekrutmen baru. “Seluruh anggaran harus transparan dan dibebankan ke APBN, bukan APBD atau masyarakat,” tegasnya.
Rekomendasi : Dari Ronda ke Netizen Citizenship
Lebih jauh, Sutrisno mengusulkan agar konsep Siskamling diperluas ke ranah digital. Bagi dia, Siskamling masa kini seharusnya tidak hanya mengawasi jalan kampung, tetapi juga menjadi wadah masyarakat untuk menangkal hoaks, melaporkan potensi provokasi, dan membangun literasi demokrasi.
“Keamanan lingkungan hari ini tidak lagi sekadar menjaga rumah dari maling. Lingkungan kita juga ada di dunia digital. Maka Siskamling harus bertransformasi menjadi ruang partisipasi warga yang lebih modern,” ujarnya.
Wacana menghidupkan kembali Siskamling pada akhirnya memperlihatkan tarik-menarik antara nostalgia masa lalu dan tantangan zaman baru. Apakah ia akan menjadi solusi konkret atau sekadar jargon politik, sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam merumuskan regulasi yang kuat, desain kelembagaan yang jelas, serta ruang partisipasi warga yang sesuai dengan era digital.
Bagi Sutrisno Pangaribuan, satu hal pasti: negara tidak boleh lari dari tanggung jawabnya. “Bukan rakyat yang harus menanggung kegagalan negara. Justru negara yang harus hadir, memperbaiki diri, dan menyiapkan mekanisme keamanan yang benar-benar relevan dengan tantangan hari ini,” pungkasnya. (FS)
0 Komentar