Breaking News

6/recent/ticker-posts

Jejak Yang Membisu : Reruntuhan Istana-istana Sultan di Timur Sumatera

Tarunaglobalnews.com

Oleh : FS

Di jantung timur Sumatera, di antara lanskap yang kini didominasi oleh ekspansi agroindustri dan transformasi demografis pascakolonial, berdirilah atau lebih tepatnya, tertinggallah fragmen-fragmen arsitektural yang pernah menjadi episentrum kuasa simbolik: Istana Langkat, Istana Serdang, dan Istana Kota Pinang. Ketiganya bukan sekadar situs historis, melainkan representasi konkret dari konfigurasi sosial-politik, kosmologi keagamaan, dan arsitektur budaya Melayu-Islam.

Dalam perspektif akademik, reruntuhan ini dapat dibaca sebagai artefak naratif sebagai teks kultural yang merekam transformasi historis masyarakat Melayu Timur dalam dialektika antara lokalitas, kolonialitas, dan modernitas.

Istana Langkat : Simbol Kekuasaan, Patronase, dan Kolonialitas

Istana Langkat pada masanya merupakan pusat hegemoni tradisional yang mengintegrasikan tiga sumbu kekuasaan: agama, adat, dan kolonialisme. Sebagai entitas politik, kesultanan Langkat merepresentasikan struktur hierarkis feodal yang dikukuhkan oleh jaringan patron-klien. Sultan menempati posisi sebagai pemegang otoritas tertinggi tidak hanya administratif, tetapi juga spiritual yang mewakili etos kepemimpinan Islam klasik berbasis karisma dan legitimasi adikodrati.

Namun dalam relasi dengan kekuasaan kolonial, posisi kesultanan mengalami ambivalensi epistemik: di satu sisi berperan sebagai agen Islamisasi dan pelestari adat, di sisi lain menjadi mitra struktural kolonial dalam eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja. Rakyat pribumi maupun migran dari Jawa dan India menjadi subaltern dalam konfigurasi sosial-ekonomi yang tidak setara.

Dalam kerangka sosiologi politik, istana Langkat adalah contoh konkret dari apa yang disebut "negara dalam negara" (state within a state) di mana entitas lokal mempertahankan otonomi simbolik namun diinstrumentalisasi oleh kekuatan eksternal. Reruntuhannya kini tidak hanya menyimpan debu sejarah, tetapi juga jejak epistemologis dari negosiasi kuasa yang kompleks.

Istana Serdang: Arena Dialektika Islam, Adat, dan Modernitas

Kesultanan Serdang menghadirkan narasi yang lebih progresif, dalam pengertian bahwa istana ini menjadi ruang dialektis antara Islam tradisionalis, adat Melayu, dan proyek modernisasi kolonial. Di sini, muncul gagasan reformasi sosial yang disampaikan oleh kaum pembaharu (islahiyyin) yang terinspirasi dari gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah seperti pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Sultan Serdang mendukung pendidikan formal, menyusun regulasi hukum berorientasi pada maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariat), dan memfasilitasi interaksi ulama dengan elit intelektual. Namun, reformasi ini tidak serta-merta memutus warisan adat. Sebaliknya, terjadi proses rekontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam bingkai budaya lokal, membentuk suatu hibriditas normatif yang khas.

Namun ketika republik berdiri dan narasi tunggal kenegaraan dikukuhkan, institusi istana kehilangan relevansi politik. Dalam diskursus nasional, keberadaan mereka direduksi menjadi memorabilia budaya, bukan aktor politik maupun religius yang substantif.

Bagi akademisi budaya, Istana Serdang adalah kasus klasik dari dislokasi identitas kolektif akibat sentralisasi kekuasaan dan hegemonisasi wacana nasionalisme. Reruntuhannya mencerminkan kekosongan simbolik ketika nilai spiritual, kultural, dan sosial tidak lagi memiliki tempat dalam arsitektur negara modern.

Istana Kota Pinang: Peripheralitas, Pluralitas, dan Kekuasaan yang Terkubur

Istana Kota Pinang tidak memiliki kemegahan Langkat maupun kompleksitas institusional Serdang. Namun dari perspektif antropologi politik, istana ini justru merepresentasikan kekuatan hening dari pinggiran (subaltern power). Berada di wilayah perbatasan antara budaya Mandailing, Melayu, dan Minangkabau, kerajaan ini mencerminkan pluralisme identitas etno-religius yang unik.

Islam di sini hadir dalam bentuk praktik komunal yang lebih egaliter, bukan sebagai simbol kekuasaan elitis. Prinsip “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” dijalankan secara pragmatis dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan istana lebih sebagai pengayom sosial daripada pusat kendali politik.

Namun marginalisasi wilayah ini oleh pusat kekuasaan kolonial maupun nasional menyebabkan istana kehilangan akses terhadap sumber daya dan jaringan legitimasi. Dalam terminologi Gramscian, kerajaan ini mengalami subordinasi hegemonik di mana nilai-nilai lokal di dekonstruksi secara sistematis oleh struktur kekuasaan eksternal.

Kini, reruntuhan Istana Kota Pinang adalah situs antropologis yang merekam resistensi senyap terhadap homogenisasi identitas nasional. Ia menolak untuk hilang, namun juga tak mampu bersuara lantang.

Refleksi Akademik : Reruntuhan Sebagai Situs Naratif dan Etika Historis

Reruntuhan istana-istana ini tidak dapat dipahami hanya sebagai benda mati (material remains), melainkan sebagai situs naratif tanda-tanda semiotik dari dinamika sosial, konflik nilai, dan pertarungan wacana. Mereka menandai bukan hanya keruntuhan struktur kekuasaan, tetapi juga krisis epistemologi budaya.

Dalam paradigma kajian pascakolonial dan antropologi historis, kita melihat bagaimana kesultanan Melayu Timur menjadi korban dari epistemic violence, di mana cara hidup, struktur nilai, dan sistem pengetahuan lokal dihapus atau disubordinasikan oleh narasi negara-bangsa dan modernisme Barat.

Namun nilai-nilai Islam yang terkandung dalam kehidupan istana seperti keadilan (‘adl), amanah, syura (musyawarah), dan marwah (kehormatan spiritual dan sosial) tetap relevan untuk rekonstruksi etika sosial-politik Indonesia kontemporer.

Saat Istana Menjadi Cermin

"Reruntuhan tidak hanya mengingatkan kita akan apa yang telah hilang, tapi juga apa yang belum selesai kita rawat: nilai, sejarah, dan identitas."

Sebagai akademisi, kita ditantang untuk menggali kembali warisan ini, tidak sekadar dengan pendekatan arkeologis, tetapi dengan kritisitas hermeneutik dan kepekaan historis. Karena barangkali, di antara puing-puing marmer dan kayu jati, masih hidup wacana-wacana Islam Nusantara yang berakar pada keadaban lokal dan kosmopolitanisme spiritual. 

Posting Komentar

0 Komentar