Breaking News

6/recent/ticker-posts

Mukhaer Pakkanna : Mengkitik Cukai Rokok?

(Foto Dok. ITBAD) 

TARUNAGLOBALNEWS.COM

JAKARTA — Per 1 Januari 2022, Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok dengan rerata 12 persen. Untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), naik rerata 4,5 persen. Golongan industri SKT ini dianggap banyak menyerap lapangan kerja. Sementara, kenaikan tarif cukai cukup tinggi pada produksi secara mesin, yakni SKM (Sigaret Kretek Mesin) dan SPM (Sigaret Putih Mesin) rentang 12 – 14,4 persen.

Harga jual eceran (HJE) tertinggi golongan SPM-I dipatok Rp 2.005 per batang atau Rp 40.100 per bungkus (20 batang). Kemudian HJE terendah untuk golongan SKT-III dipatok Rp505 per batang atau Rp10.100 per bungkus. 

Pemerintah pun membuat simulasi. Bahwa kenaikan tarif ini akan berkontribusi menurunkan produksi rokok 3 persen dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 miliar batang. Indeks Kemahalan rokok pun menjadi 13,77 persen dari 12,7 persen, dengan target penerimaan APBN dari cukai rokok mencapai Rp 193,5 triliun. Kemudian prevalensi perokok anak akan turun dari 8,97 persen menjadi 8,83 persen. 

Kenaikan itu perlu diapresiasi di tengah tarik-menarik kepentingan antara kelompok industri rokok dengan buruh industri, petani tembakau, aktivis kesehatan dan kelompok pengendalian rokok.

 Sayang sekali, kenaikan tarif cukai ini justru jauh lebih rendah dari tahun 2020 (23 persen) dan tahun 2021 (12,5 persen). Bahkan, jika dihitung rasio Harga Jual Eceran (HJE) / Harga Transaksi Pasar (HTP) justru SKM IIA turun 23,6 persen sementara SKT III terdongkrak 12,2 persen. 

Lebih rendahnya kenaikan tarif cukai tahun ini, bisa berdampak pada, _pertama_, sulitnya mengejar target RPJMN 2020 – 2024 di mana prevalensi perokok remaja akan turun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen. 

Mengkonfirmasi simulasi riset Bappenas (2020), kenaikan cukai hasil tembakau sejatinya rerata 25 persen pada tahun 2021 sehingga dapat menekan prevalensi perokok dewasa dari 33,8 persen menjadi 32,0 persen, dan prevalensi perokok remaja dari 9,1 persen menjadi 8,6 persen. Kebijakan ini juga berpotensi menekan 340.000 kematian dini dan mencegah sekitar 200.000 anak-anak Indonesia untuk mulai merokok. 

Pada saat yang sama, produktivitas tenaga kerja akan meningkat karena kualitas kesehatan penduduk yang lebih baik, dan perekonomian akan menghasilkan 126.000 pekerjaan baru pada akhir 2021, karena pengeluaran rumah tangga bergeser dari sektor tembakau ke sektor lainnya. Maka, kenaikan rerata 12 persen per 1 Januari 2022 ini justru ibarat “menggarami lautan”, kurang memberi dampak berarti. Lagi pula, rokok adalah komoditas in-elastis sempurna, jika terjadi tarif cukai atau harga rokok yang rendah, pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi dan produksi rokok sulit untuk turun. 

_Kedua_, daya keterjangkauan remaja dan masyarakat miskin terhadap harga rokok tidak akan berubah.

Merujuk data Komnas Pengendalian Tembakau (2021), jumlah perokok remaja dan masyarakat miskin makin meningkat selama masa pandemi Covid-19, yang dipicu harga rokok murah, mudah dijangkau, dan dijual secara eceran tanpa hambatan. Harga rokok di Indonesia termasuk salah satu negara termurah setelah Pakistan, Vietnam, Nikaragua, Kamboja, dan Kazakhstan. 

Banyak rumah tangga termiskin atau berpenghasilan rendah di Indonesia terperangkap konsumsi rokok, sebanyak 7 dari 10 rumah tangga (hampir 70 persen) memiliki pengeluaran membeli rokok. Sedangkan, 6 dari 10 rumah tangga termiskin (57 persen) memiliki pengeluaran membeli rokok. Sebagai zat adiktif yang sarat nikotin, konsumsi rokok akan makin menjerat para konsumen rokok untuk bisa berhenti.

Selain persoalan tarif cukai, penggolongan cukai rokok juga telah merumitkan penetapan tarif. Studi Bank Dunia (2019) merilis, tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Indonesia termasuk paling rumit di dunia, dengan sistem 10 lapis berdasarkan Produk Tembakau, Golongan Industri berdasarkan Jumlah Produksi, Harga Jual Eceran (HJE) per unit. 

Di pelbagaii negara penggolongan tarif yang rumit sudah lama ditinggalkan. Merujuk studi CHED (2021), tarif CHT yang lebih sederhana memudahkan fungsi pemantauan, mengurangi biaya administrasi dan mendorong fungsi kontrol konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin dan perokok pemula. 

Bahkan, studi itu juga menunjukkan, peluang penerimaan negara akan lebih besar. Kebocoran potensi penerimaan akibat adanya perilaku _downgrade_ pembayaran tarif cukai industri rokok pada golongan di bawahnya, bisa memantik kehilangan potensi penerimaan cukai. 

Sejatinya, penyederhanaan tarif cukai hasil tembakau sudah dirancang pada peta jalan penyederhanaan penggolongan CHT yang telah diatur pada PMK 146 Tahun 2017, dengan penyederhanaan golongan cukai hingga 5 sampai 3 golongan secara bertahap. Namun sayang, pada PMK 010/2019 dan PMK 198/2020 tidak lagi mencantumkan peta jalan itu. Raibnya peta jalan penyederhanaan golongan cukai itu menimbulkan kecurigaan, bahwa ada permainan ekonomi politik dalam penentuan tarif cukai dalam setiap keputusan PMK. 

Selanjutnya, satu aspek yang harus diperhatikan dalam CHT adalah kondisi pasar di mana harga-harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar/HTP) tidak sesuai dengan harga yang tertera di banderol pada kemasan (Harga Jual Eceran/HJE). 

Ihwal ini akan memantik maraknya _predatory pricing_ antar produsen. Sehingga fungsi cukai sebagai pengontrol konsumsi rokok menjadi sulit dilaksanakan. Masalah ini terjadi karena kebijakan CHT dalam PMK yang berlaku 1 Januari 2022 ini tidak diatur detail. 

Dalam konteks inilah, tarif cukai sebesar rerata 12 persen ini, sejatinya adalah kemenangan pemodal dan industri rokok raksasa. Maka, SDM unggul dan sehat sebagai upaya menuju Indonesia Emas, jangan lagi diharapkan untuk dicapai karena kebijakan tarif yang kurang berani dilakukan Pemerintah.


#Sapari.M.Si

Posting Komentar

0 Komentar