Oleh: ICAL
(Rubrik Opini)
Mengenali Zamannya, Mendiagnosis Mentalnya
Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, dan setiap generasi menghadapi ujian yang unik. Generasi muda hari ini, yang kerap disebut Generasi Z dan Alpha, adalah produk dari zaman disruptif; zaman yang ditandai dengan kecepatan informasi, dominasi dunia digital, dan perubahan yang begitu dahsyat. Mereka adalah generasi yang paling terdidik, paling melek teknologi, dan paling terkoneksi dalam sejarah peradaban.
Namun, di balik kemajuan fasilitas itu, kita, para orang tua, pendidik, dan pemangku kebijakan, kerap dihantui oleh sebuah kegelisahan: benarkah mental dan sikap mereka telah kokoh untuk menghadapi gelombang ujian yang sesungguhnya? Kita menyaksikan gejala yang memprihatinkan: mental instan yang alergi terhadap proses panjang, jiwa yang rapuh saat dikritik, dan mudah terjerembap dalam lubang keputusasaan saat sebuah rencana tak berjalan mulus.
Lantas, sebagai sebuah masyarakat yang berperadaban dan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, bagaimana kita seharusnya merespons fenomena ini? Jawabannya tidak terletak pada sekadar menyalahkan zaman, tetapi pada rekonstruksi mental dengan kembali kepada khazanah kebijaksanaan Ilahiyah yang abadi, yang justru sangat relevan dengan konsep kontemporer seperti growth mindset.
Growth Mindset : Dalam Terang Al-Qur’an dan Sunnah
Psikologi modern mengenal growth mindset sebagai keyakinan bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan melalui dedikasi, usaha, dan belajar. Dalam perspektif Islam, konsep ini bukanlah hal yang baru. Ia adalah jiwa dari seluruh doktrin Islam tentang takdir, ikhtiar, dan tawakal.
Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ayat mulia ini adalah pilar utama growth mindset Islami. Ia menegaskan bahwa perubahan (change) dimulai dari kemauan manusia untuk berusaha (effort), dan kemudian Allah akan merespons usaha tersebut. Ini adalah doktrin yang sangat progresif, yang menempatkan manusia sebagai subjek yang aktif dalam menentukan nasibnya, bukan objek pasif yang pasrah tanpa aksi.
Rasulullah SAW juga dalam banyak hadits menekankan nilai usaha dan optimisme. Sabda beliau, “Sesungguhnya Allah menyukai ketika seorang dari kamu bekerja, ia itqan (mengerjakannya dengan profesional dan sungguh-sungguh).” (HR. Thabrani). Al-Itqan ini adalah cerminan dari growth mindset yang menghargai proses dan kualitas, bukan sekadar hasil.
Gejala Fixed Mindset dan Solusi Islami
Lalu, di mana letak masalah generasi sekarang? Mereka banyak yang terjebak dalam fixed mindset keyakinan bahwa kemampuan adalah bawaan yang statis. Gejalanya terlihat dari :
1. Takut Gagal dan Kritik. Mereka menganggap kegagalan sebagai cap atas ketidakmampuan dirinya, bukan sebagai feedback untuk perbaikan. Islam mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari ujian (ibtila’). Allah berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155). Sabar di sini berarti resilience (ketangguhan) untuk terus berusaha dan memperbaiki diri.
2. Mental Instan. Dunia digital yang serba cepat sering mematikan kesabaran untuk melalui proses. Islam, sebaliknya, mengajarkan untuk menghargai setiap langkah dalam perjalanan. Kisah Nabi Yusuf AS yang harus melalui sumur, perbudakan, penjara, sebelum akhirnya menjadi bendahara negeri Mesir, adalah masterclass tentang kesabaran berproses.
3. Berputus Asa. Fixed mindset mudah membawa pada putus asa. Al-Qur’an secara keras melarang hal ini. “...dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Optimisme adalah perintah iman.
Panggilan Kolaboratif : Peran Kita Bersama
Membangun mental growth mindset yang Islami ini bukanlah tanggung jawab individu semata, melainkan tugas kolektif kita semua.
1. Lingkungan Keluarga: Orang tua harus menjadi role model yang menunjukkan ketangguhan dan kecintaan pada belajar. Gagalkah dalam suatu usaha? Bangkit dan diskusikan pelajarannya dengan anak. Ganti kalimat “Kamu memang tidak pandai matematika” dengan “Mari kita cari cara lain yang lebih mudah untuk memahami soal ini.”
2. Lingkungan Pendidikan: Pendidik harus beralih dari paradigma yang hanya mengejar nilai akhir (output) kepada proses belajar yang bermakna. Menghargai usaha, kreativitas, dan ketekunan siswa lebih utama daripada sekadar jawaban yang benar.
3. Lingkungan Masyarakat: Kita perlu membangun narasi publik yang mengagungkan etos kerja, kejujuran proses, dan ketekunan, bukan sekadar glorifikasi kesuksesan instan yang sering kali ilusif.
Menuju Generasi Rabbani yang Tangguh
Generasi muda kita adalah amanah. Tugas kita adalah membekali mereka tidak hanya dengan ilmu dan teknologi, tetapi lebih penting lagi, dengan mentalitas yang benar. Mentalitas yang memandang kehidupan sebagai medan jihad dan belajar yang tiada henti, dimana setiap kegagalan adalah guru, setiap kritik adalah pemandu, dan setiap usaha adalah ibadah yang bernilai di sisi Allah.
Dengan menginternalisasi growth mindset yang disinari oleh nilai-nilai Qur’ani, kita berharap mereka akan tumbuh menjadi generasi rabbani generasi yang kokoh ilmunya, tangguh mentalnya, luhur akhlaknya, dan senantiasa percaya bahwa pertolongan Allah akan selalu menyertai setiap langkah ikhtiar yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tawakal. Wallahu a’lam bishbish-shawab. (*)
0 Komentar