Breaking News

6/recent/ticker-posts

Makna Idul Adha: Meneladani Ibrahim, Membumikan Nilai Pengorbanan

Tarunaglobalnews.com  

Penulis : Faisal,S. Sos., MM., CPM

Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan dengan gema takbir dan sembelihan hewan kurban. Ia adalah puncak kontemplasi tentang makna pengorbanan, ketulusan, dan totalitas penghambaan manusia kepada Tuhannya. Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS menjadi fondasi spiritual yang melampaui zaman, bahkan menjadi oase spiritual di tengah gurun individualisme modern.

"Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu." (QS. As-Saffat: 102)

Ayat ini menjadi representasi dialog batin yang jujur dan demokratis antara seorang ayah dan anak dalam menafsirkan perintah Ilahi. Sebuah nilai luhur yang penting untuk ditanamkan di zaman ketika otoritas sering kali kehilangan kearifan dalam mengelola perbedaan dan ketaatan.

Keteladanan Ibrahim dalam Perspektif Islam Moderat

Menurut KH. Ahmad Syafii Maarif, dalam banyak ceramahnya, makna kurban tidak boleh berhenti pada ritual, tetapi harus menjadi "energi transformatif" bagi perbaikan sosial. Kurban adalah bentuk solidaritas, kepedulian terhadap sesama, serta keberanian untuk melepaskan ego demi kemaslahatan yang lebih luas.

Hal senada diungkapkan oleh Prof. Quraish Shihab, bahwa "makna utama kurban adalah kepasrahan total kepada Allah, bahkan ketika logika manusia kita sulit menerimanya." Dalam era digital yang penuh kebisingan, keikhlasan menjadi barang langka. Kurban Ibrahim adalah narasi tentang ketulusan yang melawan arus kepentingan pribadi.

Menghidupkan Nilai Kurban di Tengah Krisis Kemanusiaan

Di zaman ini, kurban sejati tidak hanya terwujud dengan menyembelih kambing atau sapi. Kurban bisa berupa waktu, tenaga, bahkan emosi kita dalam melayani orang tua, pasangan, anak-anak, dan masyarakat.

Cendekiawan Muslim kontemporer, Dr. Haidar Bagir, menyampaikan bahwa kurban modern adalah ketika kita mampu menahan ego dan berbagi kasih dalam dunia yang semakin dingin dan mekanistik. Pengorbanan menjadi ibadah ketika dilandasi cinta dan tanggung jawab sosial.

Idul Adha menjadi saat yang tepat untuk merenungi: apa yang sudah kita korbankan untuk keluarga? Untuk tetangga? Untuk negeri yang sedang diuji? Seberapa sering kita mengalah demi keutuhan? Atau justru mempertahankan gengsi atas nama "kebenaran" pribadi?

Kurban: Titik Temu Spiritualitas dan Kemanusiaan

Nilai universal dari kurban adalah membangun kesetaraan. Dalam ibadah kurban, yang mampu berbagi kepada yang lemah. Rasulullah SAW menegaskan:

"Tidaklah darah kurban itu mengalir, melainkan ia lebih dahulu sampai kepada Allah dari tempat ia jatuh ke bumi." (HR. Tirmidzi)

Di sinilah letak kemuliaan kurban: bukan pada jumlah dan gemuknya hewan, tetapi pada niat dan kepedulian yang mendasarinya.

Menjadi Ibrahim Zaman Ini

Setiap zaman butuh Ibrahim baru bukan untuk menyembelih anak, tapi untuk menyembelih ego, keserakahan, dan ketidakpedulian sosial. Setiap kepala rumah tangga, guru, pemimpin, dan aktivis sosial harus membawa ruh pengorbanan demi kemaslahatan ummat.

Idul Adha bukan hanya perayaan ibadah, tapi titik balik spiritual untuk kembali bertanya: "Apakah aku sudah rela berkorban demi Allah dan sesama, atau hanya demi egoku sendiri?"

Idul Adha 1446 H/2025 M ini mari kita hidupkan ruh pengorbanan dalam bentuk yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini: kejujuran, keteladanan, empati, dan tanggung jawab. Karena kurban bukan hanya tentang daging, tapi tentang cinta yang tumbuh dari pengorbanan. (*)

Posting Komentar

0 Komentar