Tarunaglobalnews.com Batu Bara — Gedung Kantor Kementerian Agama Kemenag Kabupaten Batu Bara berdiri megah di Jalan Perintis Kemerdekaan, tepat di depan Gedung DPRD Batu Bara, Kelurahan Lima Puluh Kota, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara. Kamis 01/05/2025).
Namun, di balik kemegahannya, tersimpan sejarah yang mulai kabur, keberadaan Majelis Penyantun Pendidikan Islam (MPPI), lembaga pendidikan Islam yang dahulu menjadi kebanggaan masyarakat Lima Puluh.
MPPI berdiri pada era 1970-an atas prakarsa tokoh-tokoh masyarakat Lima Puluh, yang saat itu masih merupakan bagian dari Kabupaten Asahan. Sejumlah tokoh pendiri diantaranya H Zainal Abidin, H Harun, H Lubis, H Hakim, H. Saharudin Simanjuntak, dll. Kini sudah ribuan mantan siswanya tersebar di pelosok negeri.
Lembaga ini menjadi wadah pendidikan Islam, menyelenggarakan madrasah setara tingkat SD (Ibtidaiyah), SMP (Tsanawiyah), hingga SMA (Aliyah). MPPI dibangun atas swadaya masyarakat. Dulunya Yayasan MPPI menampung siswa dari Labuhan Ruku, Simpang Sianam, Desa Perupuk, dll. Bahkan, siswa tak mampu digratiskan pembayaran uang sekolah.
MPPI lahir dari semangat kolektif. Bangunan awalnya sederhana, berdinding papan dan beralaskan tanah, tapi semangat pendiriannya luar biasa. Banyak alumninya kini telah sukses sebagai guru, dosen, hingga tokoh masyarakat, ujar salah satu mantan siswa MPPI.
Namun, sejak dimekarkannya Kabupaten Batu Bara dari Asahan dan terjadi ekspansi wilayah Lima Puluh, nasib MPPI mulai tak menentu. Pada 1996, lahan eks HGU PT Socfindo seluas 9 hektare di Lima Puluh direncanakan untuk berbagai fasilitas publik, termasuk lahan 2 hektare untuk sekolah STM. Namun entah bagaimana, murid-murid Aliyah MPPI tiba-tiba dipindahkan ke lokasi baru dengan dalih alih status sekolah dari swasta menjadi negeri.
Seiring berjalannya waktu, tanpa penjelasan yang transparan, lokasi dan bangunan MPPI justru dialihfungsikan. Sekitar tahun 2010, kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Batu Bara sempat menempati lokasi tersebut, sebelum akhirnya pegawai Kemenag mulai bertugas di sana. Hingga kini, gedung tersebut menjadi kantor resmi Kemenag Batu Bara.
Kami, masyarakat Lima Puluh Kota, terus bertanya, bagaimana bisa aset swadaya masyarakat menjadi aset negara tanpa penjelasan? Kalau pun sekolahnya dinegerikan, seharusnya asetnya tetap dihormati sebagai bagian dari sejarah perjuangan pendidikan Islam lokal, ujar warga lainnya.
Kecemburuan sosial pun muncul. Warga menilai, meskipun dulunya MPPI berdiri dari jerih payah masyarakat Lima Puluh, namun saat ini tidak ada keberpihakan dalam hal rekrutmen tenaga kerja di instansi Kemenag tersebut, bahkan kepada anak-anak tokoh pendiri MPPI.
Kini, tak ada lagi bekas bangunan MPPI. Jejak sejarahnya lenyap tanpa ada dokumentasi atau tanda peringatan. Yang tersisa hanyalah kenangan dari para alumni dan masyarakat yang menyaksikan sendiri perjuangan mendirikan lembaga itu puluhan tahun lalu.
Siapa yang bertanggung jawab atas alih fungsi ini? Mengapa sejarah MPPI seolah dihapus begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung, menunggu jawaban dari para pemangku kepentingan. (HP)
0 Komentar