Breaking News

6/recent/ticker-posts

PENGENDALIAN TEMBAKAU INDONESIA : JALAN PANJANG DIALOG KEPENTINGAN NEGARA ATAU RAKYAT ?


TARUNAGLOBALNEWS.COM

Penulis : Roosita Meilani Dewi 

Kepala Pusat Studi Center of Human and Economic Development, Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Jakarta — Menjelang peringatan hari tanpa tembakau sedunia tahun 2022, Indonesia berduka sangat dalam ketika guru bangsa yang sangat sederhana dan ajaran cinta kasihnya pada sesama menjadi ajaran semua meninggal dunia. Buya Syafi’i Ma’arif mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sampai hayatnya selalu menjadi tauladan bagi bangsa ini. Beliau yang selalu berdiri tegak dibelakang keberpihakan terhadap rakyat (kaum cilik). Salah satu tulisan beliau di media dengan judul “Pembunuh itu Nikotin” merupakan salah satu wujud betapa mendalamnya poin keberpihakan beliau akan nasib bangsa yang telah tergerogoti oleh ancaman zat aditif ini. Keberpihakan terhadap rakyat miskin dan anak – anak yang sampai saat ini tercatat hampir 70% sebagai pengkonsumsi rokok di Indonesia. Ikhtiar pengendalian tembakau di Indonesia memerlukan dukungan guru bangsa seperti Buya Syafii Ma’arif , agar pemerintah dan rakyat Indonesia pada umumnya sadar akan bahaya jangka panjang konsumsi zat adiktif ini baik secara mikro (bagi konsumen-rakyat) maupun makro (negara). 

Jalan panjang pengendalian tembakau di Indonesia menunjukkan hasil atas upaya selama ini walaupun tidak signifikan, berdasarkan laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 oleh Kementrian Kesehatan menjukkan bahwa penurunan prevalensi penggunaan tembakau saat ini pada 2011 dan 2021 adalah 36,1% dan 34,5%. Prevelensi merokok dari 34,8% menjadi 33,5%, namun cukup menyedihkan bahwa prevalensi penggunaan rokok elektronik meningkat signifikan dari 0,3% (2011) menjadi 3,0% (2021).  Sedangkan pengeluaran bulanan bulanan rakyat Indonesia terutama untuk rokok kretek meningkat signifikan dari 309.711,8 rupiah pada tahun 2011 menjadi 382.091,7 rupiah pada tahun 2021. Pergeseran konsumsi rokok oleh masyarakat semenjak pandemi menjadi salah satu indikasi alasan perubahan data peningkatan penggunaan rokok elektrik dan konsumsi rokok kretek di Indonesia. Tingginya konsumsi dua produk ini menjadi salah satu tanda masih cukup kuatnya candu rokok di masyarakat walau terpolarisasi menjadi dua kategori rokok elektrik dan kretek (konvesional), hal ini juga menujukkan dua segmen pendapatan menengah dan rendah. 

Regulasi fiskal maupun nonfiskal yang telah dibuat oleh pemeritah rasanya belum se optimal negara lain yang menggunakan jargon jangka panjang “sustainibility” (keberlanjutan) dan green economic (Ekonomi hijau). Regulasi fiskal diterbitkannya peraturan menteri keuangan (PMK) setiap di akhir tahun untuk kenaikan tarif cukai dana harga jual eceran (HJE) masih sangat rumit dengan mengandung unsur negosiatif oleh kepentingan industri. Berbagai macam jenis rokok yang dibuat industri menyesuaikan segmen pasar dan secara tidak langsung menyasar anak muda seolah produk tembakau ini menjadi barang normal di Indonesia, nyata adanya bahwa konsumsi rokok di Indonesia digolongkan dalam ketegori makanan dan menduduki peringkat kedua setelah beras. Mengembalikan tujuan utama regulasi fiskal ini menjadi sesuatu yang sangat mendesak bagi pemerintah yaitu kenaikan harga rokok di semua jenis dan golongan agar tingkat keterjangkauan masyarakat terhadap zat aditif ini semakin menurun, begitu pula prevalensi perokok anak di negara ini menurun. Keberpihakan regulasi terhadap rakyat menjadi satu point catatan bagi pemerintah saat ini, kepentingan negara dari sisi pendapatan bukan menjadi tujuan utama regulasi ini. Ketercapaian penerimaan cukai yang selalu diagungkan menjadi salah satu penerimaan terbesar negera menjadi sangat pincang jika disandingkan dengan fakta bahwa dampak buruk produk tembakau yang dikonsumsi rakyat sangatlah berlipat-lipat dibandingkan penerimanya, data menunjukkan bahwa kerugian makro akibat konsumsi rokok di Indonesia sebesar 596,61 Triliun (Peneliti Sowarto Kosen).

Jika menilik regulasi nonfiskal pengendalian tembakau Indonesia sejak tahun 2012 diberlakukan Peraaturan Pemerintah No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa produk tembakau yang menetapkan ketentuan-ketentuan pentingnya pengendalian tembakau : Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pengemasan dan pelabelan, dan pembatasan iklan, Prmosi, dan sponsor tembakau. Namun temuan GATS menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam menyadari adanya label peringatan kesehatan pada bungkus rokok sebesar 72,2%(2011) dan 77,6% (2021), oleh karena itu menjadi sebuah kemendesakan revisi PP 109/2012 tetang peringatan kesehatan bergambar dari 40% menjadi 90% atau plain packaging.Kembali lagi pemerintah perlu diingatkan keberpihakannya pada rakyat dan perlindungan akan hak konsumen (rakyat) untuk mendapatkan informasi tentang bahaya susatu produk secara utuh. Terlebih lagi hasil survei CHED ITB AD tehadap 3156 bungkus rokok di wilayah Jabodetabek menunjukkan bahwa 90% peringatan kesehatan bergambar pada  total bungkus rokok yang disurvei tertutupi oleh pita cukai. Monitoring dan evaluasi lapangan yang oleh pemangku kebijakan dalam hal ini Dirjend Bea Cukai Kementrian Keuangan bersama BPOM RI menjadi salah satu yang sangat penting saat ini.

Kebijakan pemerintah dalam upaya pengendalian tembakau menghadapi upaya diialogis yang terbangun atau memang dibangun untuk membuat ambiguitas kepentingan antara negara dan rakyat, padahal negara hadir untuk melindungi kepentingan rakyatnya. Pencerminan kepentingan negara lebih bersifat jangka pendek untuk kepentingan kebijakan strategis pemerintah sesaat, sedangkan pengendalian tembakau merupakan jalan kebijakan yang harus mencerminkan kepntingan rakyat untuk keberlanjutan generasi bangsa jelang bonus demograsi 2045 yang diidamkan. (**)

Posting Komentar

0 Komentar